Selasa, 30 Mei 2017

Ayah dan anak laki-lakinya


Ada ungkapan "Saya tidak iri pada mereka yang romantis pada pacarnya, tapi Saya lebih iri ketika melihat anak laki-laki lain bermain dengan Ayahnya". Ungkapan yang bukan sekedar ungkapan, namun bagi segelintir orang itu adalah kenyataan dan memang adanya.

Adalah kenapa saya menulis ini setelah saya menonton film The Good Dinosaur. Sedikit resensi film. Mengisahkan keluarga Apatosaurus berwarna hijau yang hidup layaknya petani di wilayah barat setelah lolos dari meteor yang meleset dari bumi. Sosok hero dicerita ini adalah Arlo anak ketiga dari pasangan petani Henry dan Ida, mempunyai saudara Ramsey dan Buck yang  usil. Arlo terlahir dengan badan kecil, rapuh, dan penakut meski telurnya paling besar. Kelemahannya tersebut membuat dia diremehkan oleh saudaranya. Tidak seperti epos atau dongeng bahwa setiap ada anak laki-laki selalu digambarkan lebih dekat dengan sang ibu, tapi cerita The Good Dinosaur sosok Henry sang ayah yang selalu dibelakang Arlo. Sang ayah selalu percaya bahwa Arlo dapat melampaui dirinya walau dengan kekurangannya. Henry ajarkan tentang rasa berani, kemudian agar Arlo dapat menumbuhkan kepercayaan dirinya. Dan dimata Arlo, Henry adalah pahlawan super. Sayang, peran Henry hanya sebatas Intro. Ketika nonton, dari awal saya sudah menduga jika ada sosok Ayah yang seperti superhero akan pamit duluan dari sebuah cerita, contoh lain Uncle Ben di Spiderman.

Bagian cerita utamanya adalah pencarian jati diri Arlo melalui petualangan bersama manusia purba yang masih kanak-kanak, Spot. Bersama Spot, Arlo belajar mengatasi rasa takutnya yang berlebih. Dari itu dia dapat bertahan hidup di hutan, bertemu makhluk lain, membantu T-Rex merebut kembali banteng gembalanya dari Velociraptor, bahkan Arlo berani menyelamatkan Spot ketika diculik oleh Pterodactyl.


Ada film lain, Mencari Hilal mengisahkan hubungan ayah yang religius dan anak laki-lakinya yang sekuler dibungkus realita yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Perdebatan adalah sesuatu hal yang lumrah terjadi pada hubungan Ayah dan anak lelakinya.  Cerita film ini mengambil setting religi sebagai hal yang menjadikan pemikiran sang Ayah dan sang Anak laki-laki yang bertolak belakang sehingga menjadikan hubungan keduanya berjarak.


Saya bisa mengerti, saya juga pernah berdebat dengan ayah saya. Saya punya idealisme sendiri tentang masa kini, sebaliknya ayah saya membuat dirinya adalah hasil dari representasi konservatifnya di masa lalu. Ayah saya kerap memandang suatu masalah dengan menilik pengalamanya untuk menyikapi suatu isu yang mungkin saat itu saya alami. Sebaliknya, saya menggunakan logika masa kini untuk menyanggah pemikiran konservatif ayah saya. Perdebatan, adu mulut dan saling mendiamkan yang membumbui hubungan kedua generasi tersebut. Hal lumrah dan memang beginilah romantisme antara ayah dan anak lelakinya.

Meski sering cekcok, bukan berarti seorang ayah tidak menyayangi anak lelakinya seperti apa yang dilakukan oleh seorang ibu. Seorang ayah punya "bahasa"-nya sendiri untuk mengungkapkan rasa sayangnya pada anak lelakinya, dan kebanyakan anak laki-laki membandingkan dengan komunikasi yang lemah lembut, penuh manja dari sang ibu. Bahkan kadang saya merasakan entah anda merasakan atau tidak selalu ingin menjadi anak laki-laki ibu, bahkan tak akan sungkan untuk berperan sebagai anak laki-lakinya sepanjang hidupnya meski sudah tidak bisa disebut lagi anak laki-laki. Namun sebaliknya, anak laki-laki akan memakai "baju" independen sebagai pria ketika berhadapan dengan ayahnya. Anak laki-laki tidak akan menunjukkan jati diri mereka sebagai anak laki-laki, alih-alih menjadi pria lain di keluarga bersama idealisme dan kepribadiannya dihadapan ayahnya.

Seorang ayah tak akan menangisi anak lelakinya merantau jauh, namun beliau dapat merenung berjam-jam mengkhawatirkan kemampuan anak lelakinya untuk bertahan dalam kehidupan yang keras. Sebaliknya, meski sang anak jarang menelfon dan bercakap dengan ayahnya, namun ia selalu berupaya untuk membuktikan bahwa ia dapat membanggakan ayahnya dan menyuarakan bahwa ia dapat bertahan dikehidupan keras versinya sendiri. Seorang ayah juga akan menangis dalam kekhawatiran dan disiplin yang ia terapkan, sedangkan sang anak lelakinya menangis dalam pencarian kepemimpinan dan kepahlawanan dalam diri Ayahnya.

Romantisme ini hadir dengan kesan kaku, hubungan ayah dan anak lelakinya tak dapat dikesampingkan. Dan tulisan ini saya dedikasikan kepada ayah saya dan seseorang yang "menyuruh" saya menulis soal ini. Seseorang yang memberi pengertian tentang hal ini. Seseorang yang pernah berkata, 

"Surga ada ditelapak kaki ibu. Dan ingat, ibu, ibu, ibu, kemudian bapakmu. Meski ibu begitu utama, bukan berarti kamu bisa membangkang kepada bapakmu. Kamu juga harus menyadari dan tahu bahwa ibumu adalah seorang istri yang harus patuh pada bapakmu. Hormati bapak-ibumu".

Terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar