Tikungan cinta atau hits disebut
TC adalah salah satu destinasi wisata baru di Boyolali, tepatnya di dukuh Jelok,
Cluntang, Musuk, Boyolali. Diresmikan sudah agak lama, sekitar akhir tahun 2016
dan pada perayaan malam tahun baru 2017 menjadi daya tarik orang untuk
berkunjung diawal tahun ini. Termasuk saya. 15/01/2017 saya sebagai warga
pribumi kecamatan Musuk, baru pertama kalinya mendarat di TC.
TC dapat ditempuh 15-20 menit
dengan naik motor kalau dari rumah orang tua saya di dukuh Turunan, desa Ringinlarik,
Musuk, Byl. Nanti melewati dukuh Mongko, naik terus sampai desa Cluntang. Nah
sampai dukuh Bendo legi naik lurus terus sampai ketemu dukuh Jelok.
Kalau dari Boyolali kota 45 menit
sampai 1 jam perjalanan. Dari Boyolali terus saja sampai Drajitan, desa Sruni.
Patung Sapi arah kanan. Btw soal patung Sapi ini, denger-denger akan diganti
patung Kuda nantinya setelah kecamatan Musuk jadi dipecah. Padahal kan
Boyolali ikonik sama sapi ya, malah diganti kuda. Harusnya juga monument di
tengah simpang lima itu buaya yang lagi garuk-garuk kepala pake kaki belakang,
terus diatasnya dikasih tanda tanya besar. Apa esensinya? Terlepas dari
mitologi dan cerita rakyat terbentuknya nama kota Boyolali, kita tahu bahwa
Boyolali diambil dari suku kata Boyo = Buaya, Lali = Lupa. Jadi ikon yang pas
kek gitu tadi. Masih kurang yakin? Coba lihat deh Surabaya. Nah ini, kereta
kencana, gak ada hubungannya dengan Boyolali. Yang punya delman aja jarang.
Ehm Lupakan. Oke, sampai Drajitan
belok kanan, terus sampai ke SMP 2 Musuk belok kanan, pertigaan pertama belok
kiri, nanti terus sampai pertigaan desa Cluntang belok kanan. Tenang, yang buta
arah sudah ada penunjuk jalannya disetiap belokan. Yang terbiasa mainan navigator agak susah
karena sinyal juga kadang nyaut kadang engga. Jadi manfaatkan penunjuk jalan
dan insting. Dari pertigaan terus aja ketemu deh dengan pertigaan dukuh Bendo
legi, belok kiri mentok nanti nanjak terus sampai dukuh Jelok tempat TC berada.
Nah yang pobia sama anjing dari
dukuh Bendo legi sampai nanti di tujuan seperti uji nyali. Jadi siap-siap mental
aja. Sebelum di Bendo legi sudah ada beberapa, tapi tak seekstrim sesudah masuk Bendo legi. Ngeri juga, saya mengayuh sepeda tertatih-tatih tiba-tiba dari
belakang kaki saya yang sudah keliatan tulangnya digigit kan gak asik juga.
Untungnya sebelum masuk kawasan dukuh Bendo legi saya ketemu nih sama
bapak-bapak gowes berduaan dari Klaten, goks.
Jadi ada rombongannya gitu. Masuk dukuh Bendo legi mampir warung istirahat sekalian refill minum dan
dijajanin wafer ihirr. Kata mas-mas penjaga warung kami bertiga lah yang
pertama kali lewat sini untuk menuju TC dengan sepeda. Coba rada pagian,
mungkin saya jadi yang pertama ha ha ha
Lanjut nggenjot sampai atas,
masuk dukuh Jelok. Dengkul kaki kiri rasanya sudah kendor sendinya, turun dari
sepeda sudah sempoyongan. Saya mampir istirahat lagi di pos kamling, saya
ditinggal bapak berdua tadi yang lanjutin ngayuh sepedanya. Kampret haha. Saya inget
waktu kecil sekitar umur 7 atau 8 tahunan pernah istirahat disini juga. Saya masih
ingat dulu naik sepeda motor Honda 70 rencana mau ke lereng gunung Bibi bersama om saya. Karena
hampir digigit anjing dan cuaca rada kurang mendukung kami putuskan pulang.
Yak, lanjut lagi, berangkat kita.
Nanjak terus, karena belum pernah kesana sebelumnya jadi asumsi saya masih jauh
padahal kurang 1 km lagi kira-kira. Dan lihat treknya yang menanjak terus jadi
pusing juga. Lanjut, meski 100 meter berhenti, maju lagi berhenti lagi niatnya
yang penting sampai. Ahai.. akhirnya setelah melewati anjing yang tidur
ditengah jalan untuk yang terakhir kalinya, saya menemukan jalan datar dan sudah
nampak bapak berdua tadi sudah membopong sepedanya untuk pose wkwk goks.
Hampir sampai di tujuan masih ada
tanjakan 1 kali lagi, wah sial dalam hati. Gapapa lah, finishing. Akhirnya sampai
juga dibukit dengan sambutan “nyampe juga mas, kirain balik pulang”
Wkwk sial ya pak, batin saya. Bapaknya
turun dari menara, eh menara, getek kali ya? Ah apalah itu sebutannya yang penting dibuatnya dari bambu.
“lah foto-fotonya udahan pak?”
tanyaku.
“Iya mas, ngejar waktu. Nanti ada
masuk piket. Tapi sini mas, coba fotoin berdua dulu dong. Buat nota ke
temen-temen.” jawab si bapak yang kerja di BC Jogja.
“Haha oke pak, nanti saya minta
nota juga ya” celotehku.
*cepret cepret
*cepret cepret
“Sip, langsung saja mas. Duluan
yaa.” Kata bapak tadi setelah saya minta selfie.
Bapak yang kiri adalah pengusaha di wilayah Jatinom, yang kanan karyawan Bea dan Cukai di Jogja. Tiap hari ngantor gowes dari Klaten ke Jogja. Keren gak tuh. Pesen dari mereka berdua sebelum cabut adalah,
Go Green! Iyess Sir!
Bapak yang kiri adalah pengusaha di wilayah Jatinom, yang kanan karyawan Bea dan Cukai di Jogja. Tiap hari ngantor gowes dari Klaten ke Jogja. Keren gak tuh. Pesen dari mereka berdua sebelum cabut adalah,
Go Green! Iyess Sir!
Saya naik ke bambu susun tadi,
sambil istirahat pandangi pemandangan dibawah dan di sekitar. Saya foto bapak
berdua tadi dari atas, #nowplaying : Wiz Khalifa ft. Charlie Puth – See You
Again. Woo a o a.. Woo a o a.. Woo a ooooo a..
Ya emang terasa bedanya nonton langsung dan ngambil dari internet. Ya rada kurang puas juga, cuaca berawan dan kadang muncul kabut, sempet gerimis juga. Berikut hasil dokumentasi saya pribadi.
Selain pemandangan ada hal yang
menarik lain ketika naik. Biasanya disebut vandalism, tapi kalo menurut saya ini
seperti penyampaian kebutuhan dasar sebagai manusia, yaitu pegakuan. Dari tulisan
tulisan ini, mereka ingin memberi pesan bahwa mereka pernah menapakkan kakinya
disini.
Sudah puas foto-foto saya nyoba
terus naik, eh kelihatan ada tower ISP. Deketin ah, kali ada kelurahan pasang wifi gratis
disana. Secara sinyal susah, pengen mantau kondisi dunia maya juga hehe. Sampai
lokasi ternyata bukan kelurahan yang pasang, tapi perumahan. Ah gak masalah lah, yang penting wifinya gak dipassword haha. Ketemu adik-adik ini di pos
kamling main coc, TH 7 dan 9, satu lagi TH 9 tapi sudah di kick dari clan. Kasian.
Pas diajak selfie juga malu-malu, yang di kick tadi juga pilih ngumpet. Kakak nyeremin katanya, syem. Biarin deh.
Pukul 09.22 saya memutuskan
pulang lewat jalur Drajitan, sengaja biar bisa papasan dengan pengunjung lain,
kali ada yang kenal.
Oke, berikut beberapa hal menarik
yang saya dapat pahami setelah perjalanan gowes ini,
Jika kita niat, pasti akan sampai
ditujuan. Jangan menyerah, engga usah ngoyo yang penting konsiten dan punya
komitmen pada tujuan yang dimaksut. Menyadari juga hal instan juga dampaknya
instan, jadi akan sangat-sangat menghargai proses setelah tercapai keinginan.
Kedua, rejeki bisa datang dari
manapun, dalam bentuk apapun. Rejeki bukan melulu soal materi, tapi juga tali
silaturahmi, keselamatan, dan merasa kecukupan. Dapat dirasakan sepanjang
perjalanan, saya dapat menjalin silaturahim dengan orang baru. Dapat berinteraksi
dengan orang pribumi yang menyambut dan santun, entah tua entah muda, dan
kecil. Sederhannya mereka menyapa, menyambut dengan senang hati dengan senyum
tulus ikhlas. Anak kecil yang sudah pandai “bahasa krama” dan santun perilakunya yang mungkin sudah
terasa luntur di daerah-daerah yang rada maju, karena keegoisan orang tua untuk sedini mungkin memperkenalkan bahasa
inggris dan memakai bahasa Indonesia dalam keseharian agar dilihat “lebih”
oleh orang lain. Saya tidak memungkiri, itu penting. Sangat penting, tapi lihat
kondisi sekitar. Ketika dilingkungan pedesaan yang kental dengan keeratan tiap individu dan masih didasari adat istiadat, apa
masih menyombongkan diri karena memakai bahasa Indonesia dalam keseharian? Itu
kenapa bahasa ibu juga penting, agar anak tidak lupa dimana dia dibesarkan. Semua
soal pilihan, orang tua punya cara masing-masing sih.
Ketiga adalah pengakuan. Bapak tadi
minta saya fotoin dan gantian memotret saya untuk dijadikan “nota”. Yah, nota disini
artinya apa yang akan ditunjukkan ke orang lain setelah kita berhasil dan
meraih pencapaian kita dalam berproses. Sebagian orang menganggap pamer, tapi
sebagian menganggap itu adalah kebutuhan karena apa yang kita lakukan juga butuh apresiasi
dan menyampaikan pesan bahwa kita bisa, ada, dan eksis. Kata seseorang yang berkesan bagi saya,
“An unshared happiness is not happiness”Jadi jangan kecil hati :))))
Yah itulah yang saya dapat dari
pengalaman gowes yang saya ringkas pada kesempatan kali ini. Terima kasih sudah
berkunjung dan semoga bermanfaat.
Salam, *kring-kring..
Salam, *kring-kring..
Mantap Mas Aji...
BalasHapusSuwun Mas Farid..
BalasHapusMantab...nanti kl nyekar makam ortu di tempel musuk aku coba ke lokasi...trms
BalasHapusNtaps mas 🤟
HapusMas ini kmu nanjaknya mulai ke arah nanjaknya sebelum jembatan yg jalane rusak apa setelah jembatan? Ada tanjakan yg tegak panjang kayak Paras? Trus klo ama ke Selo berat mana nanjaknya. Salam gowes
BalasHapusIni area Kecamatan Musuk, mz. Kalau nanjak tinggian Selo masih wkwkw.
HapusMon maap lama ndak keurus blognya. Salam gowes, tep jaga kesehatan, mz.