Setiap hal bisa jadi mempunyai dua sisi yang berbeda, tergantung dari prespektif mana melihat hal tersebut. Misal takbir, satu sisi orang melihat adalah kesenangan karena dapat melewati bulan Ramadan dengan lancar dan berhasil mencapai hari kemenangan yang fitri. Satu sisi orang menganggap takbir adalah perpisahan yang tidak diinginkan, Ramadan begitu terasa cepat berlalu meninggalkan orang yang masih saying-sayangnya. Mungkin ada lagi, orang yang tidak merasakan apapun. Biasa-biasa saja, karena mereka tidak memandang hal tersebut
Yang saya rasakan adalah saya memang benar-benar belum percaya, idul fitri tahun ini terasa cepat sekali. Ramadan terasa berlalu dengan cepat, tidak saya imbangi dengan target amalan Ramadan-ramadan yang telah lalu. Fyuuh. Istiqomah emang berat kalo niatnya masih belum bener. Andai istiqomah rasanya kek micin yang kalo berhenti dimakan mulut jadi pait jadinya pengen ngunyaaah mulu, mungkin target bisa dicapai, bahkan dilewatin. Yaaa.. semoga tahun depan masih diberi kesempatan, aminn.. tahun depan? Depannya lagi? Tauah, gitu aja terus.
Dan, meski begitu bukan berarti saya tidak senang dengan lebaran. Siapa juga yang gak mau ngrayain hari kemenangan setelah sebulan puasa? Yang gak puasa aja ikutan *ups. Lebaran identik dengan musyawarah, ketika keluarga besar berkumpul membawa bahasan yang memojokkan kaum single dengan diakhiri pertanyaan “Kapan nikah?” Eh maaf-maaf, bukan itu, lebaran identiknya dengan silaturahmi, kesempatan berkumpul bersama dengan keluarga besar. Yang rantau pulang kampung, punya sepupu yang dulu pesek sekarang makin cantik, (maafkan saya bulik-budhe, kiasan aja). Pokoknya pesta pora bagi orang yang punya jiwa sosial tinggi. Tapi sebagai spesies introvert yang hanya 2% populasi di dunia, ada beberapa hal yang dirasa berat dalam ritual atau aktifitas selama lebaran. Spesies kami rada susah emang menerima aturan baru dan berinteraksi dengan orang asing. Ketika kami sudah terbiasa dengan rutinitas Ramadan yang saya rasa menyenangkan, dimana lebih dominan melek di malam hari alias nocturnal dan sedikit terlibat interaksi sosial kemudian harus segera beradaptasi dengan perubahan drastis ketika sudah memasuki lebaran. Eh bentar, belum lebaran pun kami, (eh atau saya aja mungkin) merasa dilemma antara memakai baju lebaran tahun lalu atau memilih macet-macetan dijalan dan diintrogasi pegawai swalayan. Saya sendiri merasa risih ketika jalan ke swalayan terus disamperin mas-mas/mbak-mbak spg dengan senyuman yang mengintimidasi membuat saya sesegera mungkin menghindar.
Oke, masuk ke malam takbir. Tidak ada yang membuat risih sejauh ini, mungkin sedikit. Jalanan mulai ramai, halaman pekarangan rumah tetangga mulai ada mobil asing. Nah... salat ied, dimulailah perjuangan survival saya. Belum begitu parah, hanya sebatas shalat bareng meski sesekali ada yang ngajak ngobrol di sela-sela halal bi halal.
“Duh saya kok parah banget yak?”
Halal bi halal, makan bersama, selesai, puff! Akhirnya pulang!
Balik ke dapur makan lagi sembari nunggu bapak-ibu pulang dari masjid, terus sungkem, ke kamar, tidur! Cara terampuh menghindar dari kerumunan. Dan sampai disini pembaca sudah bisa menilai betapa parahnya saya dalam bersosialisasi. Saya punya bakat emas untuk menjadi anak rumahan tulen, kemudian ketika nanti berkeluarga tinggal di komplek perumahan yang antipati. Parah.
Lanjut ke hari H harus ngumpul 2 keluarga besar, pertama keluarga besar bapak karena nenek tinggal serumah jadi sodara pada dateng ke rumah. Terus keluarga besar ibu, ceritanya mudik gitu. Mudik lokal alias dalam kota saja. Lanjut biasanya H+2 silaturahim ke sodara jauh keluarga besar ibu, banyak tempat dan mayan jauh tempat satu ke lainnya. Terus biasanya H+4/H+5 keluarga besar dari ibu dateng ke rumah. Paling gak bisa kalau ada orang yang bertamu haha. Saya harus duduk di suatu forum dengan small talk yang saya kadang saya malas dengernya. Terasa semacam membatasi ruang gerak saya. Cara bertahan dari ini adalah diam dan sesekali nyumbang nada sumbang dan tertawa kecil, perfect!
Yes! Acara kelar, barulah saya merasa merdeka yang HQQ, High Quality Quantity. Pffft!
Eits... masih ada lagi, di sela-sela silaturahim ke sodara bapak-ibu saya juga wajib silaturahim dengan tetangga, minimal yang se-RT lah. Dulu saya waktu masih kuliah sempet berpikiran kalau “ngapain harus dateng ke rumah tetangga satu persatu? Kemarin kan udah halal bi halal di masjid.” karena menganggap saya jarang di rumah dan di tahun itu saya tidak keluar rumah sekalipun ke rumah tetangga. Akhirnya saya paham, dan menyesal bahwa ke-introvert-an saya bukan hal yang pantas untuk dijadikan kabmbing hitam untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Kadang saya merasa iri dengan orang yang supel, ekstrovert yang punya keterampilan untuk menyita perhatian orang lain, frontliner yang didengarkan. Lambat laun terasa, apa yang saya lakukan itu dulu gak ada manfaatnya, dan bodohnya saya lakukan tidak hanya sekali.
Setelah tahun-tahun kelam kemarin saya beranikan diri silaturahim sendiri ke tetangga 1 RT, done. Lanjut ke tahun berikutnya dan ternyata mudah haha. Kadang ada temennya juga yang bikin saya berani. Lagi di rumah si Temon, temonnya juga baru pulang ikutan “nglarik”, mampir di rumah si Kampret, Kampret ikutan ngajak si Kantong. Kalo sudah rame gini serasa punya jubir hehe. Dan tahun ini adalah mungkin berkah keren untuk saya, himpunan pemuda RT mengadakan silaturahim bareng, jadi “nglarik” satu RT bareng-bareng.
Sadar bahwa lingkungan pedesaan adalah lingkungan yang penuh kebersamaan, gotong royong, dan saling membantu itulah yang utama. Istilahnya keluarga terekat adalah tetangga. Silaturahmi adalah poros itu semua.
Dan dari sini saya bisa melihat sisi lain dari silaturahim lewat kacamata introvert saya. Saya tidak bisa lagi menuruti ke-introvert-an saya ini, karena saya sudah harus terjun ke masyarakat. Saya tidak bisa lagi menuruti kepala saya demi kepentingan saya pribadi. Dan kadang saya bersyukur dikaruniai introvert dengan kemampuan analisa dan pengamatan yang lumayan kata orang, cuman masalahnya aksinya kurang. Sambil jalan nanti cari deh cara untuk menyalurkan ilmu yang diendapkan. Ibarat CPU, dapat inputan dari Keyboard-Mouse tapi tidak ada monitor untuk menampilkan inputan. Useless.
Oke, ya sudahlah. Saya sudah terlalu banyak mengamati. Input sudah overload dan mungkin saya harus segera mencari “piranti output” yang pas. Hopefully you. Be my speaker?
0 komentar:
Posting Komentar